Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook
Tidak banyak warga Kalimantan Selatan tahu tentang pejuang yang satu ini. Walaupun namanya kemudian menjadi nama bandar udara terbesar di Kalimantan, namun kisah hidupnya masih tertutup oleh minimnya catatan sejarah lokal Kalimantan Selatan.
Moehammad Sjamsoeddin Noor |
Letnan Udara Moehammad Sjamsoeddin Noor, lahir di Alabio (Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan), tanggal 5 November 1924. Ayahnya adalah seorang ulama dan aktif di pergerakan nasional yaitu H. Abdul Gaffar Noor, sedangkan ibunya Hj. Putri Ratna Wilis juga aktif di pergerakan berbasis keagaamaan. Aktivitas sang ayah yang aktif di pergerakan, membawa keluarga ini hijrah ke Batavia, sehingga Moehammad Sjamsoeddin Noor menghabiskan masa pendidikannya di Batavia.
Pada tahun 1939 Moehammad Sjamsoeddin Noor lulus dari HIS Batavia, kemudian dilanjutkan ke MULO Bogor lulus tahun 1942. Kemudian dilanjutkan lagi AMS Jogjakarta lulus tahun 1945. Pada tahun 1945, seluruh pemuda Indonesia bersiap untuk mempertahankan kemerdekaan yang baru saja di proklamasikan. Pemuda Moehammad Sjamsoeddin Noor pun terpanggil untuk membela negara dengan memasuki Akademi Militer Jogjakarta. Setahun di akademi, diteruskan masuk Sekolah Kejuruan Penerbang. Negara kembali menugaskan Moehammad Sjamsoeddin Noor untuk mengikuti Pendidikan dan Pelatihan Penerbang di India dan Burma. Selama tiga tahun pendidikan ini beliau jalani dengan kedisiplinan, sehingga setelah lulus beliau dipercaya untuk menerbangkan pesawat angkut dan pesawat tempur AURI.
Bergabungnya Moehammad Sjamsoeddin Noor ke barisan pilot pesawat tempur AURI menambah kekuatan militer Indonesia kala itu, dikarenakan masih langkanya tenaga pilot pesawat tempur.
Pada hari Minggu, tanggal 26 November 1950, Moehammad Sjamsoedin Noor menjalankan tugas negara menerbangkan pesawat Dakota 446 milik AURI dari Lapangan Andir Bandung (sekarang Bandara Husin Sastranegara) menuju landasan pacu Tasikmalaya Jawa Barat. Di perjalanan, badai dan memburuknya cuaca menjadi kendala. Kondisi ini diperparah dengan rusaknya mesin pesawat, membuat Dakota kehilangan kendali. Pesawat pun jatuh setelah menabrak tebing Gunung Galunggung, sekitar 15 Kilometer dari Malang Bong, Kecamatan Ciawi, Tasikmalaya, Jawa Barat.
Seluruh awak pesawat termasuk M. Sjamsoedddin Noor gugur sebagai pahlawan.
Prosesi pemakamannya dilakukan secara militer di Taman Makam Pahlawan Cikutra Bandung, pada tanggal 26 November 1950. Diikuti tembakan salvo ke udara, TNI AU kehilangan salah satu penerbang muda terbaik bangsa. M. Sjamsudin Noor wafat di usia muda 26 tahun. Sebagai jasanya beliau dianugerahi gelar Pelopor Indonesia Airways Guna mengenang jasa perjuangannya, tanggal 13 Januari 1970, Pemerintah Daerah Kalimantan Selatan dan Pimpinan Pangkalan Udara mengusulkan agar Lapangan Udara Ulin diganti menjadi Pangkalan Udara Sjamsudin Noor.
Dipilihnya Sjamsudin Noor sebagai nama Pangkalan Udara (Lanud), juga melalui proses panjang. Setidaknya ada 3 pilihan nama pahlawan baik sipil maupun militer yang diusulkan kala itu. Masing-masing Komodor Udara Supadio, Pangeran Antasari dan Sjamsoedin Noor sendiri. Melalui SK DPRD Kalsel, diputuskan nama Sjamsoedin Noor menggantikan Landasan Udara Oelin pemberian nama dari Belanda dan Jepang.
Artikel ini di salin kembali dari postingan facebook bang Rusman tulisan asli disini
0 komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan, isi komentar menjadi tanggung jawab individu yang bersangkutan.